Beranda | Artikel
Adab-Adab Makan
Jumat, 10 September 2021

ADAB-ADAB MAKAN

Makan dan minum diniatkan untuk bertaqwa dan taat kepada Allah berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap perbuatan dilandaskan pada niat, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkan”.[1]

Berlindung dari kelaparan, dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَللّهُـمَّ إِنِّي أَعـُوذُبِكَ مِنَ الْجُـوْعِ فَإِنَّهُ بِئْـسَ الضَّجِيْعِ وَأَعُـوْذُ بِكَ مِنَ الْخِيَانَةِ فَإِنَّهُ بِئْـسَ اْلبِطَانَةِ

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan sesungguhnya ia seburuk-buruk teman tidur dan aku berlindung kepadaMu dari khianat sesungguhnya ia seburuk-buruk teman dekat”.[2]

Dilarang makan dan minum pada bejana emas dan perak, dari Hudzaifah radhiallahu anhu berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُـوْا الْحَرِيْرَ وَلاَ الدِّيْبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوْا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَِاْلفِضَّةِ وَلاَ تَأْكُلُوْا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي اْلآخِرَةِ

“Janganlah kalian memakai kain sutra dan yang bergaris sutra (dibaj adalah jenis kain persia. pen.) dan jangan pula kalian minum pada bejana emas dan perak serta makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak sebab dia (semua disebutkan di atas) adalah bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat”[3][4]

Berusaha mencari makanan yang halal, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّـهَا الَّذِيْنَ آمَنُـوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقَنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik pada apa-apa yang telah kami berikan rizki kepadamu”.[5]

Di antara adab makan adalah membagi perutmu menjadi tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مَلأَ اَدَمِيٌّ وِعَاءً شَـرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسَبِ بْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صَلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَـثُلُثٌ ِلطَعَامِهِ وَثُلُثٌ ِلشَرَابِهِ وَثُلُثٌ ِلنَفَسِهِ

“Tidaklah seorang anak Adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika dia harus mengerjakannya maka hendaklah dia membagi sepertiga untuk mkanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya”.[6]

Ini adalah beberapa tuntunan yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar umatnya terjaga dari penyakit yang disebabkan oleh makanan dan minuman, keterangan di atas menunjukkan dimakruhkan memperbanyak dan mempersedikit makan sehingga menyebabkan lemahnya badan.

Tidak dianjurkan makan yang banyak, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مَعْيٍّ وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

“Orang-orang mu’min makan dengan satu usus dan orang kafir makan dengan tujuh usus”.[7]

Tidak berlebihan dalam jenis makanan, sebagian ulama Abu Hanifah berkata : Termasuk berlebihan jika terdapat di atas meja makan roti dengan jumlah yang melebihi kebutuhan orang yang makan, dan termasuk berlebihan menyediakan bagi diri makanan yang beragam.[8]

Seorang muslim harus belajar adab-adab makan dan harus mengajarkannya kepada orang lain, dalam hadits riwayat Umar bin Abi Salamah radhiyallahu anhu berkata : Pada saat aku kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tanganku selalu liar ke sana kemari dalam piring makanan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurku:

يَا غُلاَمُ  سَـمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمَينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa-apa yang dekat dengan dirimu”. [9]

Tidak memulai makan dan minum dalam sebuah majlis sementara di dalamnya terdapat orang yang lebih berhak melakukannya, baik karena lebih tua atau lebih mulia sebab perbuatan tersebut mengurangi nilai adab pribadinya.

Dilarang makan sambil ittika’ (berbaring), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya aku tidak makan secara berbaring, di antara bentuk berbaring tersebut adalah:

  1. Berbaring ke sebelah kiri.
  2. Duduk Bersila.
  3. Bertopang pada salah satu tangan dan makan dengan tangan yang lain.
  4. Bersandar pada sesuatu, seperti bantal atau hamparan di bawah tempat duduk seperti yang dilakukan para pembesar.

Sifat Ittika’ adalah tetap dengan posisi duduk tertentu saat makan terlepas dari bentuk posisi apapun duduk tersebut, yang lain mengatakan: duduk dengan posisi condong kepada salah satu pinggang, begitu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang makan dengan posisi terlungkup di atas perutnya”.[10][11]

Mendahulukan makan dari shalat pada saat makanan sudah dihidangkan, berdasarkan sabda Nabi:

إِذَا وُضِعَ عَشَاءُأَحَدِكُمْ وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَءُوْا بِالْعَشَاءِ وَلاَ يَعْجَلُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ

“Apabila makan malam sudah dihidangkan maka mulailah dengan makan malam dan janganlah tergesa-gesa sampai dia selesai makan malam”.[12]

Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam   :

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمْرُ –رِيْحِ اللَّحْمِ-وَلََمْ يَغْسِلْهُ فَاصَابَهُ شَئٌ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Barangsiapa yang tidur sementara tangannya dipenuhi bau daging dan dia belum mencucinya lalu ditimpa oleh sesuatu maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri”.[13]

Dianjurkan berwudhu’ untuk makan jika seseorang dalam keadaan junub, berdasarkan hadits:

كَانَ رَسـُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْينَاَمَ تَـوَضَّأَ وُضُوْءَهُ ِللصَّلاَةِ

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau sedang junub dan berkeinginan untuk makan atau tidur maka beliau berwudhu’ terlebih dahulu seperti wudhu’ beliau untuk shalat”.[14]

Membaca بِسم الله pada permulaan makan tanpa menambahnya, sebab semua hadits shahih yang menyebutkan tentang basmallah saat makan tidak menyebutkan tambahan [15] اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ sendainya seseorang menambah dengan ucapan [16] اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ maka hal itu juga tidak mengapa, kemudian dia memuji Allah setelah makannya.

Imam Ahmad rahihullah berkata: Apabila saat makan seseorang bisa mengumpulkan empat adab makan, maka dia telah sempurna: Apabila menyebut nama Allah pada awalnya, memuji Allah pada akhir makannya, ikut bersamanya tangan yang banyak dan makanan tersebut dari hal yang halal.[17]

Pada permulaan makan dia mengucapkan: بِسم الله dan jika lupa mengucapkannya, maka membaca:

بِِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ   (Dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhir (makan) atau بِِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلَِهُ وفِي َآخِرَِهُ

Apabila makan secara bersama maka pujian kepada Allah diucapkan oleh setiap orang, berdasarkan sabda Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ اْلعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ اْلأَكْلَةَ فَيَحْمِدُهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبُ الشُّرْبَةَ فَيَحْمِدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah rela jika seorang hamba memakan suatu makanan lalu dia memuji Allah atasnya atau meminum suatu minuman dan dia memuji Allah atasnya”.[18]

Setelah selesai makan maka dia mengucapkan salah satu do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:

اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدِّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنِى عَنْهُ رَبَّنَا عَزَّ وَجَلَّ

“Segala puji bagi Allah, pujian yang berlimpah lagi baik dan berkah yang senantiasa dibutuhkan, diperlukan dan tidak bisa ditingalkan wahai rabb kami”[19]

Atau membaca do’a

اَلْحَمْدُ ِللهِ اَّلذِي كَفَانَا وَآوَانَا غير مَكْفِيٍّ وَلاَ مَكْفُوْر

Segala puji Bagi Allah yang telah mencukupkan dan melindungi kita  senantiasa dibutuhkan dan tidak diingkari”.[20]

Atau membaca do’a:

اَلْحَمْد ُِللهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَـوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan aku makan dengan makanan ini, dan menjadikannya sebagai rizki bagiku tanpa daya dan upaya dariku”.[21]

Atau membaca:

اَلْحَمْد ُِللهِ الَّذِي أَطْعَمَ وَسَقَى وَسَوَّغَهُ وَجَعَلَ لَهُ مَخْرَجًا

“Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makan dan minum serta mempermudahnya, juga menjadikan jalan keluar baginya”.[22]

اَللّهُمَّ أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ وَأَقْنَيْتَ  وَهَدَيْتَ وَأَحْيَيْتَ فَلِلّهِ الْحَمْدُ عَلىَ مَا أَعْطَيْتَ

“Ya Allah Engkaulah yang telah memberikan makan, memberikan minum, memberikan kecukupan, memberikan petunjuk, dan menghidupkan, segala puji bagi Mu atas semua yang telah Engkau berikan”.[23]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  Barangsiapa yang diberikan makan oleh Allah suatu makanan maka hendaklah dia mengatakan:

  أَللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْهِ وَزِدْنَا مِنْه

“Ya Allah berikanlah keberkahan bagi kami padanya, tambahkanlah makanan tersebut bagi kami” dan aku tidak mengetahui makanan yang bisa memadai (kandungannya) kecuali susu”.[24]

Seseorang yang makan seyogyanya mengetahui jenis makanan yang dimakan, dan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memakan suatu makanan sampai beliau sendiri mengetahui jenis apakah yang dimakan tersebut”.[25]

Makan dan minum dengan tangan kanan dan dilarang menggunakan tangan kiri, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ تَأْكُلُوْا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ

 “Janganlah makan dengan tangan kiri sebab setan makan dengan tangan kiri”.[26]

Dan diperbolehkan memakan roti dengan tangan kiri, adapun mengambil dan memberi tidak diperkenankan kecuali dengan menggunakan tangan kanan dalam rangka melestarikan etika.[27]

Tidak bertanya tentang asal makanan, dijelaskan dalam sebuah hadits:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ عَلىَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ مِنْ طَعَامِهِ فَلْيَأْكُلْ وَلاَ يَسْأَلُ عَنْهُ وَإِنْ سَـقَاهُ مِنْ شَـرَابِهِ فَلْيَشْرَبْ مِنْ شَرَابِهِ  وَلاَ يَسْأَلُ عَنْهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian mendatangi saudaranya semuslim lalu dia menyuguhkan kepadanya makanan maka hendaklah dia memakannya tanpa bertanya tentang (asal) makanan tersebut dan jika dia memberinya minum maka hendaklah meminumnya tanpa bertanya tentang asal minuman tersebut”. [28]

Dianjurkan menseragamkan makanan antara semua yang hadir.

Dibolehkan mendahulukan sebagian makanan kepada teman duduknya sebagai bentuk sifat lebih mengutamakan orang lain atas dirinya.

Dibolehkan memberikan makan kepada orang yang meminta-minta dan kucing dengan syarat orang yang memberikan makanan tidak terganggu dengan tindakan tersebut.[29]

Manyantap makanan yang terdekat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Makanlah dari apa-apa yang terdekat denganmu”.[30]

Dianjurkan makan dari apa-apa yang ada di pinggir piring bukan dari atasnya (bagian tengah makanan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُوْا فِي الْقَصْعَةِ مِنْ جَوَانِبِهَا وَلاَ تَأْكُلُوْا مِنْ وَسْطِهَا فَإِنَّ اْلبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسْطِهَا

Makanlah pada piring dari pinggirnya dan janganlah kalian makan dari tengahnya sebab keberkahan turun pada tengah suatu makanan”.[31]

Dianjurkan makan dengan menggunakan tiga jari[32] dan menjilat tangan[33], berdasarkan hadits Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jari dan mejilati tangannya sebelum membersihkannya”[34], dan hikmah menjilat jari-jari adalah karena perintah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang memerintahkan menjilati jari-jari dan piring tempat makan dan bersabda : “Kalian tidak mengetahui di bagian makanan manakah keberkahan tersebut”.[35]

Albani rahimhaullah mengatakan : Termasuk aneh, seseorang merasa benci jika makan dengan sendok dengan keyakinan bahwa hal itu menyalahi sunnah, padahal makan dengan sendok tergolong dalam perkara-perkara kebiasaan”.[36]

Dianjurkan mengambil suapan yang terjatuh dan membersihkan apa-apa yang menempel lalu memakannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا طَعِمَ أَحَدُكُمْ فَسَقَطَتْ لُقْمَتُهُ مِنْ يَدِهِ فَلْيُمِطْ مَارَابَهُ مِنْهَا وَلْيَطْعَمْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang di antara kalian sedang makan, lalu suapannya terjatuh dari tangannya maka hendaklah dia membersihkan apa-apa yang meragukannya lalu makanlah dia, dan janganlah membiarkannya untuk setan”.[37]

Tidak disyari’atkan mencium makanan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’ala.

Beberapa tuntunan sunnah yang berhubungan dengan kurma:

  1. Berbuka puasa dengan kurma.
  2. Menjadikan kurma untuk makan sahur.
  3. Memakan kurma sebelum melaksanakan shalat ied.
  4. Dilarang makan dua kurma sekaligus, begitu juga apa-apa yang menjadi kebiasaan.[38]
  5. Meletakkan biji kurma pada jari telunjuk dan jari tengah kemudian membuangnya.
  6. Tidak memeriksanya kecuali jika kurma tersebut jelek, Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa kurma yang sudah lama maka beliau memeriksanya dan mengeluarkan ulat-ulat yang ada padanya.”[39]
  7. Dimakruhkan menaruh biji kurma pada tempat yang sama dengan kurma.[40]
  8. Tahnik dengan menggunakan kurma, yaitu mengunyah sesuatu lalu menaruhnya pada mulut bayi untuk digosokkan pada mulutnya.

Pada waktu pagi memakan tujuh biji kurma ajwa, agar terhindar dari racun dan sihir dengan izin Allah, di dalam kitab Al-Shahihaini dari Sa’d bin Abi Waqqas radhiallahu anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةٍ لَمْ َيضُرْهُ ذلِكَ اْليَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ –زاده البخاري- ذَلِكَ الْيَوْمَ إِلىَ الَّليْلِ

“Barangsiapa yang memakan tujuh biji kurma ajwa pada waktu pagi maka dia tidak membahayakan baginya racun atau sihir” ditambahkan oleh Al-Bukhari “pada hari itu sampai malamnya”.[41]

Abu Zakaria An-Nawawi rahimhullah memilih pendapat yang mengkhususkan kurma ajwa’ yang terdapat di Madinah, pengkhususan seperti sama seperti pengkhususan bilangan tujuh (seperti yang disebutkan di dalam hadits di atas) yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Dan Abu Dawud menulis “Babu Fi Tamril Ajwah” dan tidak menyebutkan Madinah.[42]

Dianjurkan memakan makanan setelah hilang panasnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 لاَ يُؤْكَلُ الطَّعَامُ حَتَّى يَذْهَبَ بُخَارُهُ 

Suatu makanan tidak dimakan kecuali setelah asap panasnya menghilang”.[43]

Tidak menyebut nama bagi suatu makanan dengan sebutan yang tidak disukai, dalam sebuah hadits riwayat Abi Hurairah Radhiyallahu anhusulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَمُّوْا الْعِنَبَ الْكَرْمَ فَإِنَّ الْكَرْمَ الرَّجُلُ اْلمُسْلِمُ

“Janganlah kalian menamakan Al-Inab (anggur) dengan nama al-karm sebab Al-Karm adalah lelaki yang muslim”.[44]

Dilarang mencela dan menghina makanan, sebagimana disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sedikitpun, apabila beliau menyukainya maka beliau memakannya dan jika tidak menginginkannya maka beliau meninggalkannya.[45] Imam Nawawi rahimahullah berkata : Dan di antara adab makan yang harus adalah makanan tersebut tidak dicela, seperti mengatakan : makanan ini asin atau kecut.[46]

Adapun keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan biawak, untuk memberitahukan bahwa keengganan beliau tersebut semata-mata karena beliau tidak menginginkannya. Dan boleh mengatakan: “Saya tidak menginginkan makanan ini”.

[Disalin dari آداب الأكل والشرب Penulis Majid bin Su’ud al-‘Usyan, Penerjemah Muzaffar Sahidu, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2009 – 1430]
______
Footnote
[1] HR. Bukhari.
[2] Hadits ini dihasankan oleh Albani-rahimhullah-, sunan Abi Dawud no: 2723
[3] HR. Bukhari no: 5426, Muslim no: 2067.
[4] Berbeda pendapat ulama tentang menyimpan bejana yang terbuat dari emas dan perak tanpa memakainya…dan pendapat yang masyhur adalah melarangnya, seperti yang diungkapkan oleh jumhur ulama dan disebutkan bahwa sebagian ulama memberikan keringanan dalam menyimpannya. (Fathul Bari, Ibnu Hajar 1/97-98)
[5] Al-Baqarah/2: 172.
[6] Dishahihkan oleh Albani dalam kitab silsilatus shahihah no: 2265.
[7] HR. Bukhari no: 5393, Muslim 2060, 182.
[8] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/193.
[9] HR. Bukhari no: 5376, Muslim no: 2022.
[10] Catatan penting : Bentuk duduk beliau saat makan adalah duduk dengan posisi bertinggung (duduk di atas pantat sambil mengangkat kedua lutut), disebutkan juga bahwa beliau duduk dengan posisi tawaruk dan meletakkan bagian belakang kaki kiri di atas bagian depan kaki kanan sebagai  cermin sikap merendah diri kepada Tuhannya Yang Maha Tinggi.
[11] HR. Abu Dawud no: 3774 dan dishahihkan oleh Albani
[12] HR. Bukhari no: 674, Muslim no: 559.
[13] HR.Ahmad no: 7515, Abu Dawud no: 3852 dan dishahihkan oleh Albani.
[14] HR. Bukhari no: 286, Muslim no: 305.
[15] Silsilah hadits yang shahih no: 71
[16] Syarah riyadhus shalihin, Syekh Utsaimin rahimhullah 5/197
[17] Zadul Ma’ad 4/223.
[18] HR. Muslim no: 2734, Imam Nawawi rahimhullah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Aklah dalam hadits tersebut adalah makan siang dan makan malam, sebagimana disebutkan oleh syekh Utsaimin dalam syarah Riadhus Shalihin.
[19]HR. Bukhari  5459
[20] Shahihul Jami’ no:4731.
[21] HR. Turmudzi no: 3458 dan dihasankan oleh Albani no: 3348.
[22] HR. Abu Dawud no: 385, Albani berkata: Shahih.
[23] Albani mengatkan dalam Silsilatus Shahihah: (1/111)(71) : HR. Ahmad tentang akhlaq Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia menyebutkan sanadnya, lalu berkata: sanadnya shahih, semua yang meriwayatkan orang-orang yang terpercaya dan termasuk perawi hadits dalam muslim
[24] HR. Turmudzi no: 3455 dan dihasankan oleh Albani no: 3385.
[25] HR. Muslim no: 5010
[26] HR. Muslim no: 2019.
[27] Fatwa lajnah Da’imah ( Fatawa Islamiyah 2/457)
[28] HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya 2/399, hadits ini dishahihkan oleh yang alim Albani rahimhullah dalam kitab Silsilatus Shahihah no: 627.
[29] Al-Adabus Syar’iyah 3/182.
[30] HR. Muslim no: 2022.
[31] HR. Abu Dawud no:3772. dan bagian tengah dikhususkan bagi turunnya berkah sebab bagian tersebut adalah  bagian yang paling adil.
[32] Dan jari yang dipergunakan menyantap makanan adalah Jari telunjuk, ibu jari dan jari tengah, kecuali makanan tersebut sejenis tsarid (makanan roti yang direndam dalam kuah) atau yang sejenisnya maka diperbolehkan makan dengan lima jari-jarinya. Ibnul Qoyyim rahimhullah mengatakan: Cara makan yang paling mulia yaitu makan dengan menggunkan tiga jari-jari, sebab orang yang sombong makan dengan satu jari sementara orang yang kuat makan dengan lima jari sekligus dan mendorong makanan tersebut dengan tenang.
[33] Dan cara menjilat jari-jari adalah memulai menjilat yang dengan jari tengah, kemudian jari telunjuk dan ibu jari, dan hadits tentang masalah ini diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam kitab Al-Mu’ajmul Ausath. Saat itu mereka belum mempunyai tissu untuk membersihkan tangan mereka.
[34] HR. Muslim no: 20222.
[35] HR. Muslim no: 2033.
[36] Al-Sildilatus Shahihah no: 1202.
[37] Sisilatus Shahihah no: 1404
[38] Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimhullah.
[39] HR. Abu Dawud no: 3832.
[40] Disebutkan oleh Al-Baihaqi, Ibnul Jauzi berkata dalam bab (Adab-adab makan): Dan janganlah dikumpulkan antara biji kurma dengan kurma secara bersamaan di dalam satu mangkuk dan tidak pula mengumpulkannya pada tangannya secara bersama, akan tetapi menaruhnya dari mulutnya pada punggung telapak tangannya lalu membuangnya, begitu juga bagi setiap makanan yang memiliki pangkal ranting dan berbusa. Al-Adaus Syar’iyah no: 3/216.
[41] HR. Bukhari no: 5445 dan 5768, Muslim: 2047.
[42] Al-Adabus Syar’iyah no: 3/6.
[43] Albani berkata di dalam kitabnya: Irwa’ul Galil no: 1978: Shahih dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 7/2580
[44] Shahih Muslim no: 5830.
[45] HR. Bukahri no: 5409.
[46] Fathul Bari, Ibnu Hajar no: 9/548


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/39138-adab-adab-makan.html